Minggu pagi ini, sambil meregangkan
badan aku melepas selimut dan aku merasakan sentuhan kain satin dasterku di
puting buah dadaku dan entah kenapa rasanya nikmat dan merinding kulitku
dibuatnya. Terasa putingku membesar dan keras. Cepat aku pergi mandi di shower,
aku mandi air dingin. Air membuat kesegaran tersendiri dan aku merasa vaginaku
merebak terkena air sejuk yang mengalir mengenai klitorisku. Kulitku meremang
dan uhhh… aku tiba-tiba sadar bahwa aku menginginkan batang panas untuk mengisi
lubang nikmatku. Ahhh… dua bulan tanpa garukan-garukan di situ. Lagi di tengah
urusan itu kok tidak selera sekali ya.
Aku pakai handuk melilitkan di
badanku dan menyisir. Dari jendela kamarku yang di atas ini aku bisa melihat ke
bawah dan Andi sedang mencuci motornya, ahh… keponakan jauhku (dari sisi
sex-ku) itu memang rajin. Walau dia sibuk dengan kuliahnya di kedokteran dia
suka dan rajin mengurus kebun luas di rumah ini juga. Tiba-tiba ia ke belakang
pohon dan membuka celana pendeknya, mau kencing! Aku berhenti menyisir dan
mengamati, astaga besar benar batang penisnya. Ia tak sadar ada yang
meperhatikan dan diguncang-guncangnya menghabisi sisa urine-nya dan terasa
kakiku melemah, lututku gemetar setelah 2 bulan tidak melihat penis lelaki. Aku
cepat ganti daster tipis pendek, BH dan CD tak sempat lagi kukenakan, dan
nafasku menderu berlomba dengan nafsu yang sudah tak tertahan lagi geloranya.
Kubuka jendela dan…
“Andi, tolong Mbak ya…” teriakku
agak keras penuh rencana.
“OK, Mbak Asti…” sahutnya.
“Ini tolong dong ambilkan tas merah
kecil di atas lemari tinggi itu, bawa tangga kecilnya Di.”
Andi cekatan naik sambil
memperhatikan pakaianku yang pendek menerawang, pahaku yang putih terlihat
hampir sampai ke atas. Tapi ia tak berani langsung melihatnya. Aku tersenyum
dan Andi naik ke atas tangga. Dicarinya di antara tas dan koper di atas (memang
tidak ada ), dan…
“Yang mana sih Mbak koq tidak ada?”
“Masa sih tidak ada, coba Mbak yang
naik, pegangin lho tangganya, Mbak takut jatuh.”
Aku naik ke anak tangga yang atas
dan Andi memegang sisi tangga. Dan mulutnya segera ternganga karena ia bisa
melihat aku karena daster mini dan tanpa mengenakan CD. Aku pura-pura tak tahu
dan sibuk mencari-cari di atas.
Aku naik satu anak tangga lagi dan
melebarkan kedua kakiku di tangga dan membungkuk ke arah lemari sehingga Andi
jelas bisa melihat semua itu dan dari sudut mata kulihat Andi terbelalak.
“Lihat apa Andi?” tegurku.
Ia malu dan menundukkan kepala.
“Mmaa.. aaff… Mbak Asti…”
Aku geli melihat ia tersipu-sipu.
“Lha kamu kan sudah biasa di sekolah
lihat yang gini kan”
“Wah… tapi Mbak Asti…”
“Tapi apa… ayoo…”
Aku turun lagi satu anak tangga.
Lututku lemas sekali dan gelora nafsuku sudah menggelegak rasanya
“Mau lihat lagi Andi?” tantangku.
Andi terkejut dan parau ia berkata,
“Bbbolehh Mbak?”
Kutarik sedikit rok dasterku, pahaku
yang putih dan berbulu halus sekali tersingkap dan bibir vaginaku pas di depan
mulutnya.
“Ndi…” desahku, “Pernah mencium
ginian tidak?”
“Bbbeelumm…” gemetarnya.
Suaranya tambah parau karena mulutnya
terasa kering. Tiba-tiba aku tertawa karena dari sisi atas celana pendeknya
mendesak keluar kepala penisnya, rupanya ia tak mengenakan celana dalam.
“Ini sih gara-gara Mbak Asti, aku
jadi malu deh…”
Dia sudah tak kuat lagi dan
disergahnya bibir vaginaku. Aku cepat mendekap kepalanya dan “Ssshhh… ahhh…
Andi cium terus Ndi… Mbak ingin sekali…” Andi mencium kedua tepi bibir dan
lidahnya mencari-cari dan menari-nari di atas tepi bibir vagina. Klitorisku
yang sebesar kacang merah mengeras dan keluar dari ujung atas vaginaku dan
“Ahhh… ahhh…” lidah Andi terasa melewati dan kasap sekali seperti amplas. Aku
sudah tak kuat lagi dan nafasku menderu-deru bak angin puyuh. Andi mendekap
pantatku dan diangkatnya aku dari tangga. Dasar anak muda kuat sekali, dia menggendongku
dalam posisi demikian. Aku pun tak takut jatuh lagi, pikiranku nanar menikmati
sedotan mulutnya.
Dibawanya aku keranjang besar dan
direbahkannya lembut di sana. Sambil jalan tadi mulutnya tak lepas dari
vaginaku yang sudah kuyup dengan cairanku. Akhirnya dalam 2 menit aku menjerit,
“Aaauhhh…” dan kutekan dengan pinggangku dan kulipatkan pahaku di sisi
kepalanya dengan kuat. Mulut Andi menyedot kencang di klitorisku dan meletuslah
orgasmeku yang pertama sejak 2 bulan ini. Mataku berkaca-kaca dan nanar. “Andi…
Andi… enakkk… enakkk sekali… terus… terus… Ndi…” keluhku. Kulihat Andi pun
terengah-engah, “Mbak… Mbak… tolong lepas dong pahanya, Andi hampir tidak bisa
nafas nih…” Kulepaskan kempitan pahaku dan segera kududuk bersimpuh di ranjang
dan kutarik dasterku ke atas, terpana Andi melihat buah dadaku masih keras dan
berdiri dengan sedikit pongah dalam ukuran 38C.
Diulurkan secara pelan tangannya
takut-takut, langsung kusambar dan kuletakkan di atas putingku, segera
diremas-remasnya bak tukang roti meremas-remas adonan terigu. Putingku terasa
tertekan di telapak yang kasap sekali dan seketika nanar kembali pandanganku.
Mataku berkaca-kaca. Nikmatnya langsung seperti listrik mengalir spontan ke
arah vaginaku yang baru saja orgasme. Kutarik, kutindih si Andi dan sambil
menarik ke bawah celana pendeknya, dan wess… batang penisnya yang sudah keras
sekali terpental kena pipiku. Di ujungnya terlihat cairan bening tanda ia sudah
benar-benar bernafsu sekali. “Aduh… aduh… Mbak… aku tidak kuat lagi.. mau keluar…”
Aku terperanjat karena lupa bahwa anak muda seperti Andi belum bisa tentunya
menguasai diri. Cepat kukulum kepala penisnya dan kusedot sambil kumasukkan
sampai hampir ke belakang mulutku. Perlahan kugerakkan kenyotan dan lidahku
terputar-putar di sekeliling kepala penisnya. Andi terguncang di ranjang dan
mengejang, terasa menahan geli enak dan dalam 1 menit meledaklah mani dari buah
zakarnya yang kuelus-elus. Telapak tanganku yang satu meraba daerah antara
zakar dan pantatnya, dan Andi tambah nikmat mengeluarkan orgasmenya. Wah
maninya banyak sekali dan memenuhi mulutku. Aku telan semua mani Andi tak
bersisa sedikitpun, kupijat batang penisnya yang masih keras itu sampai
akhirnya bersih semua. Kukeluarkan penisnya dan kelihatan berkilat merah darah
tua gundulnya itu. Berkilap-kilap basah. “Aduhhh… luar biasa enak sekali Mbak,
maaf ya saya tidak kuat lagi…” Matanya sayu dan masih sambil menikmati
ketelanjanganku. Aku menerkamnya dan memeluknya dan buah dadaku terasa kempes
di atas dadanya yang keras. Andi memerah wajahnya karena kemesraan yang
kulakukan. Di pahaku terasa penisnya mulai mengeras lagi, aku geli
merasakannya, segera membesar… membesar… dan kuremas lagi dengan tanganku. “Tuh
Andi, apa itu tuh…? Tidak apa kamu keluar tadi itu normal, sekarang mulai mekar
lagi tuh…”
Vaginaku kuletakkan di atas batang
penisnya dan… “Lihat nih Andi…” Aku mulai menggosok- gosokkan dan
menggeser-geser ke atas dan ke bawah dengan mulut bibir vaginaku di atas batang
penisnya. Terasa rambut kemaluannya menggelitik ke bibir vagina dan ke batang
panas itu. Andi ternganga dan tergagap-gagap menyaksikan dan di depan matanya
berayun-ayun buah dadaku, ia masih tak percaya apa yang sedang terjadi. “Ndi,
remas-remas buah dadaku lagi dong…” keluhku keenakan menggosok vagina itu. Kuarahkan
klitorisku dan terasa belakang kepala penisnya menggaruk-garuk, enaknya tak
terkira nikmatnya. Cairan dari lubang vaginaku mengalir dan aku mulai jongkok.
Kupegang penisnya dan kuarahkan ke mulut lubang kenikmatan itu. Perlahan
kuturunkan pinggangku dan… “Aahhh…” kepalanya kugaruk-garukkan di bibir
vaginaku sebelum perlahan kumasukkan. Andi terbalik-balik matanya menahan
nikmat yang tak terkirakan itu.
Sengaja aku berhenti setelah
kepalanya masuk sedikit, dan senut-senut kupermainkan otot bibir vaginaku (ilmu
ini kudapat dari si Mbok Inem). Andi merasakan betapa kepala penisnya seakan
dipijat-pijat dan dinding bibir vagina itu seolah menyedot dan menghimpit
dengan halus. Lekukan bibir vagina itu pas sekali ke kepala penisnya. Dia
mencoba mengangkat pinggulnya akan memasukkan lebih dalam dan aku terdiam saja
masih jongkok, dan… “Bless…” masuk lagi beberapa inci, dan akhirnya aku duduk
di atas pinggang Andi. Pahaku menganga di kiri kanan dengan seksi sekali, dan
akhirnya seluruh penis sudah amblas ke dalam lubang vaginaku. Rambut kemaluanku
tersibak ke kiri dan ke kanan di antara batang penisnya.
Aku terpejam menikmati betapa panas
dan kerasnya batang itu meregangkan seluruh lubangku yang sempit sekali. Agak
sakit memang, karena lama sudah tak dikunjungi daging keras itu. Perlahan-lahan
kunikmati dan aku mulai menggerakan naik-turun, kemudian teratur aku gerakkan
pinggangku ke depan dan ke belakang. Andi pun merasa penisnya seolah-olah
diperah dan kepala penisnya terutama. Enak luar biasa, ia mengimbangi dengan
gerakan naik-turun juga. Aku sudah seperti penunggang kuda. Buah dadaku tak
dilupakan Andi, aku membungkuk sedikit sehingga kedua melonku bisa
diremas-remasnya dan… “Niiikmaaatt…” Aku percepat gerakanku dan sekarang aku
mulai gerakan penari Hawaii, hanya pinggulku yang bergoyang dan gerakannya
memutar lingkaran.
“Hehhh… ahhh…” garukan kepala penis
di dinding vaginaku terasa luar biasa, seluruh lekuk-lekuk lubangku terasa
digaruk. Aku ingin tahu berapa lama Andi kuat menghadapi manuverku, kukerahkan
otot-otot vaginaku dan kulihat lagi mata Andi sudah terpana, terbeliak-beliak
sehingga kelihatan hanya putih biji matanya saja dan mulutnya mengeluarkan
suara seperti tak ada artinya. “Ahhh… ahhh… akkkhh… Mbak Asti… Mbak Asti…
enakkk…” Tangannya sekarang memegang dan meremas bukit pantatku. Dan aku
sendiri merasa orgasmeku mulai bergelora menuju puncaknya. Aku seperti
penunggang kuda menaiki kuda liar dan naik-turun putar… putar… putar… Buah
dadaku terasa bebas sekali terpental pental, rambut kemaluanku dan rambut
kemaluan Andi terasa bersatu tiap aku meremas memutar di atasnya, “Ahhh ahhha
ahhh…” Akhirnya meletuslah orgasmeku dan aku masukkan dalam-dalam penis Andi
dan kulebarkan pahaku di sisinya dan kugosok keras keras bibir kemaluanku di
atas rambut kemaluannya, dan… dan… dan… Andi pun meletus lagi orgasmenya,
“Srottt… serrr…” terasa maninya menyemprot di dalam lubangku tapi tak
kuperhatikan lagi. Aku sendiri seperti lupa diri memutar mutar pinggangku dalam
gerak melebar dan meremas kuat batang penis Andi.
Akhirnya aku lemas rebah di atas
dadanya.
“Mbak Asti luar biasa deh… aku
senang sekali bisa diperawani oleh Mbak Asti…”
“Apa? Oh kamu tuh belum pernah toh…
Di… Aku kira kamu sering sama-teman mahasiswi atau suster-suster di rumah
sakit, kan pada cantik-cantik…”
Andi memerah wajahnya dan berkata,
“Aku pemalu Mbak… jadi tidak pernah
dapat. Sekarang aku dapat sama Mbak Asti, aku senang sekali… boleh lagi
tidak…?”
Aku cubit zakarnya.
“Tentu.. tentu.. boleh Ndi… asal
kamu tidak bosen saja, Mbak kan sudah tua,” godaku sambil meremas-remas buah
zakarnya.
Ayo kita mandi saja bareng.
Siang itu aku selesai dengan Andi,
lalu aku berbenah dan pergi ke rumah Mbak Nani di seberang. Ia seorang janda
seumurku, tapi aku tahu juga ia suka menerima laki-laki. Nani sebenarnya teman
aerobikku di tempat senam. Dengan Mbak Nani aku sama-sama berdagang berlian
untuk tambahan penghasilan, karena ia banyak relasinya di Dharma Wanita sewaktu
suaminya masih ada. Badannya tinggi, hampir sama dengan aku yang 178 cm dan
buah dadanya pun ukurannya 38D. Nani tidak punya anak dan di rumah ia tinggal
bersama 2 sepupu wanita dan adik-adik suaminya yang masih pada sekolah, ada
yang SMA dan ada yang sudah kuliah. Aku jarang ke rumahnya selama ini karena
dulu suamiku dulu tak suka aku bergaul dengan dia. Entah kenapa.
“Mbak, Mbak Nani…” panggilku sambil
mengetuk pintu.
Kok sepi ya? Aku masuk dari pintu
samping dan rupanya sedang pada pergi karena motor anak-anak pada tidak ada.
“Mbak…?”
“Ohh… Ibu Asti,” sambut pembantunya,
Mbok Warsih.
“Ibu Nani kemana ya? tadi sih ada,
mungkin mandi… maaf ya Bu, Mbok lagi nyuci piring nih, Bu Asti masuk saja.”
Aku masuk ke ruang tengah dan duduk
di sofanya, dan aku tiba-tiba mendengar suara sayup-sayup mendesah-desah.
Jantungku berdegup seketika mendengar suara yang amat familiar kukenal itu.
Perlahan-lahan kucari sumber suaranya, dan ternyata datang dari kamar atas,
kamar Mbak Nani. Aku naik berjingkat-jingkat, aku masuk ke lorong di atas dan
benar! Dari kamar Mbak Nani, lagi ngapain dia? Lututku terasa lemas lagi mengingat
Andi tadi pagi, dan terasa bibir vaginaku melembab dan empuk lagi. Nafsuku
mulai berkobar-kobar membayangkan apa yang mungkin sedang berlangsung di kamar
Nani.
Nahh… kamarnya tidak tertutup,
pintunya masih terbuka sedikit, perlahan kudorong dan kusingkap gordin kamar
dan astaga… Mbak Nani sedang disetubuhi dan posisinya ia berlutut menungging,
pantatnya tinggi ke atas dan goyang pinggulnya kencang. Aku tak bisa melihat
jelas siapa laki-laki itu, tapi mataku terbelalak dari posisiku jelas melihat penisnya
keluar masuk cepat ke lubang vagina, dan saking pasnya terlihat bibir vagina
itu tertarik keluar setiap batangnya ditarik keluar. Batang itu… oh… batang itu
basah berkilap-kilap keluar-masuk keluar-masuk dan buah zakarnya bersih sekali
kemerahan tak ada rambut sama sekali. Paha Mbak Nani pun basah dengan aliran
cairan dari vaginanya berkilat kilat kena cahaya.
Lututku benar-benar lemas, dan
celana dalamku membasah. Aku hampir jatuh saking lemasnya, dengkulku dan aku
berpegang pada amban pintu. Perlahan kudorong lagi pintunya lebih lebar dan
keduanya benar-benar kerasukan, sehingga tidak melihat pintu membuka lebih
lebar. Kakiku benar-benar terasa seperti agar-agar jelly, lemas. Aku berpegang
pada amban pintu dan Mbak Nani pun dalam badai nafsunya terlihat memutar
pinggulnya mengikuti enjotan dari lelaki itu. Buah dadanya terpental-pental dan
desahnya benar-benar menghanyutkan, sepeti suara binatang sedang birahi. “Ahhh…
shh ssshhh Mas Mas…. enakkk… Uhhh uhhh… hmmm…” seru Nani. Tiba-tiba mereka
meregang dan meletup-letuplah orgasme mereka dan terbadai-badai buah dada Mbak
Nani karena binalnya ia menjepit penis itu. Dan terpuruk ia dipelukan lelaki
tadi dari belakang.
Nafas mereka memburu terengah-engah
seperti pelari maraton. Siapa lelaki itu? Perlahan aku mundur dan terduduk di
kursi tamu di beranda kamar itu. Nafasnya masih tak terkendali dan celana
dalamnya kuyup. Aku bingung mesti ngapain dan aduh gatalnya lubang vaginaku,
gila aku tadi baru dengan Andi, kok sekarang sudah begini lagi. Kurapatkan pahaku
kencang dengan harapan sedikit terbantu.
Masih tetap membara dan akhirnya aku
tidak kuat lagi dan aku buru-buru pulang berharap Andi masih di sana. “Andi…
Andi…” seruku dengan parau. Begitu masuk ke rumah, kok tidak menjawab, pikirku.
“Andii…” aku mencari ke paviliun, wah kosong semua, sudah pergi dia, keluh
kecewaku. Aku naik ke atas dan segera membuka semua bajuku. Mandi, pikirku
untuk meredakan ini. Aku terdiam di bawah shower, aduhhh… aliran air malah
tambah merangsangku. Bagaimana ini, bagaimana, ah masturbasi saja, dan kuraba
klitorisku yang sudah nongol keluar, “Shhh… shhh enakkk…” tiba-tiba terdengar
suara bel pintu. “Aduh siapa lagi… Andi pulang?” harapku. Aku segera mengambil
handuk dan kulibatkan di sekeliling tubuhku yang sintal, wah… kurang besar.
Kugenggam saja handuk itu biar tidak copot.
Bel berbunyi tak sabar lagi, dan aku
cepat turun, kupikir lihat dulu siapa dan kalau tidak kenal biar tak kubuka,
aku mau masturbasi, kesalku. Dari jendela kulihat, wah ternyata anak pengantar
koran, anaknya Pak RT di ujung jalan. Aku bimbang apakah mau membuka pintu atau
tidak? Bagaimana aku, hanya handukan saja. Entah kenapa, impulsif kubuka juga
dan aku melihat anak lelaki dengan mulut ternganga terbesar begitu dia
melihatku hanya berhanduk dan masih basah kulitku dan rambutku. Dalam hati, aku
senang karena berarti aku OK dong.
“Ya…?” tanyaku.
“Oh maap Mbak… eh Ibu… mau nagih
uang koran.”
Ihh sialan, hanya mau nagih,
batinku.
“Bisa lain kali?” ujarku.
“Oh eh… bis bis… bisaa…” paraunya.
Lho kok ia menutup-nutupi depan
celananya. Tiba-tiba aku sadar bahwa anak ini sudah lumayan besar, mulai deh
aku berpikir lain.
“Eh iya deh, aku bayar saja, masuk
dulu deh… aku baru mandi,” kataku.
“Ah biar di sini saja Mbak, eh Ibu…”
Kuulurkan tanganku dan kutarik saja
masuk dan ia jalan agak membungkuk-bungkuk, rupanya mencoba menyembunyikan
sesuatu.
“Kenapa sih?” tanyaku, “Kamu sakit
pinggang?”
“Ah.. ah… eh… tidak… tidak…”
katanya.
Mukanya merona merah sekali.
“Ya sudah ayo masuk ke sini!”
Kutarik lagi dan kubawa ke ruang
tamu.
“Duduk deh…” lau dia duduk, “Namamu
siapa?”
Aku masih berdiri di depannya dan
tetesan air masih mengalir di pahaku. Si anak itu matanya terbelalak melihat
paha mulusku di depan mukanya.
Apa… apa… apa Mbak…” gelagapan terus
dia.
Aku tambah geli saja.
“Oh saya namanya Banu…” jelasnya
hampir berbisik.
Matanya masih menatap pahaku yang
basah, pori-poriku masih menggremeng sehingga bulu-bulu halus di situ kelihatan
berdiri.
“Banu mana bonnya?” tanyaku.
“Oh oh… iya ini…”Tangannya menggapai
tas yang ditaruhnya di atas pahanya dan aha… rupanya ia berusaha menutupi
penisnya yang sudah tegang berat. Ha ha ha, aku mau menikmati siang ini untuk
melepas dahaga gara-gara Nani tadi. Biar deh anak Pak RT sudah besar juga kok.
Tapi aku mesti hati-hati supaya dia tidak shock.
“Ini buat bulan lalu ya Ban?”
tanyaku sambil mengambil kwitansi dan aku jalan ke buffet tempat aku menaruh
dompetku.
“Ii.. iiiya… Tante eh Ibu eh… iya…”
katanya.
Dari kaca di atas buffet aku melihat
matanya mengikuti goyang pantatku di balik handuk yang nyaris tak menutupi
pantatku dan pasti bulu di sela-sela pahaku bisa dilihatnya. Sengaja
kuregangkan kakiku dan matanya membesar dan membesar. Aku pura-pura
mencari-cari dompet dan membelakangi dia dan matanya sudah terkunci ke pantatku
yang sintal. Lalu aku berjinjit dan pura-pura mencari di atas lemari tepi
buffet sehingga handukku naik ke atas juga. Ha ha ha, pasti dia melihat lebih
jelas lagi ujung vaginaku sekarang.
Aku tiba-tiba membalik dan Banu
sudah pucat dan seperti orang dihipnotis saja. Aku balik membawa dompetku dan
sengaja aku duduk di seberangnya. Kukangkangkan kakiku sehingga handukku naik
ke atas paha. Aku pura-pura meneliti rincian kwitansi dan Banu matanya
menjalang mencoba mencari apa yang akan bisa dilihatnya. Aku sendiri sudah
basah kuyup, vaginaku lemas membayangkan mau menikmati anak ini.
Tiba-tiba aku bertanya,
“Eh kamu hari Minggu koq tidak pergi
main-main sih? kan bisa besok nagih.”
“Aa.. aku pengen beresin ini Bu…”
katanya.
“Masih banyak yang mesti ditagih?”
tanyaku lagi.
“Tidak, ini terakhir.”
“OK, ini uangnya dan terima kasih
ya,” kataku sambil berdiri.
Terlihat mukanya kecewa karena
mungkin inginnya sih apa ya? (mana aku tahu dia mikir apa, yang jelas tegangnya
masih tuh di balik celana pendek jeansnya).
Dia berdiri dan cepat ditutupkannya
lagi tasnya di depan kemaluannya.
“Eh Banu, mau bantu Mbak tidak?”
tanyaku.
Dengan sergap ia menjawab, “Mau…”
katanya senang.
“Ini Mbak mau pakai krim tapi susah
kalau di belakang punggung. Mau tidak kamu bantuin oleskan.”
Wah kalian mesti lihat ekspresi
mukanya, seperti orang menang lotere 1 juta dolar tuh.
“Ayo sini naik ke kamar Mbak deh!”
ajakku.
Berdebar-debar aku membayangkan ini
semua. Lubang vaginaku sudah bukan main gatelnya. Aku berbaring telungkup tanpa
melepas handuk setiba di kamar.
“Itu Ban, ada di meja hias yang
warna putih botolnya.”
“Ini ya Mbak?” katanya cekatan.
Ia sudah lupa dengan tasnya dan
celananya seperti sebuah tenda dengan tonggak tegak lurus.
“Yep….. itu dia Banu. Ini mulai dari
pundak atasku ya Ban.
Ia duduk di pinggirku dan nafasnya
terdengar terengah-engah. “Srr…” duh dinginnya krim itu ketika ia mulai
mengoles pundakku. Tangannya terasa hangat sekali dan gemetar.
“Banu kamu pernah tidak ngolesin
body cream gini?” tanyaku untuk membuat ia relaks.
“Ahhh… nggak pernah. Mbak cantik
sekali dan kulitnya halus bener deh,” katanya sambil terus mengoleskan krim.
Ah enak, dan pahanya terasa menempel
pada sisi tubuh atasku.
“Eh Mbak, ini handuknya
ngehalangin,” katanya lebih berani.
Aku berdebar dan… “Oh iya… dorong
saja…” tangannya mendorong sisi atas haduk di punggungku dan ditambahkannya
krim dan dioleskannya ke punggungku.
“Mbak.. eeeh… saya buka saja ya
handuknya.”
Ah… batinku, berani juga anak ini.
Kuangkat sedikit badanku dan ditariknya handuk dan jadi longgar dan copot. Buah
dadaku terasa sedikit pedih waktu ditariknya handuk itu dan telanjang bulatlah
aku. Dari kaca meja hias aku lihat Banu ternganga lagi melihat tubuh mulus dan
montok tersaji di depan matanya. Ia lupa mesti memberi krim. Aku pun menahan nafsuku
dan tetap terlungkup.
“Eh Banu ayo dong! ngeliatin apa sih
kayak belum pernah ngeliat wanita,” desahku merangsang.
“Oh iya iya…”
Dia mengoles lagi dengan sigapnya,
tangannya teasa tambah hangat.
“Hmm, pantatnya juga tidak Mbak
Etty?”
Hi hi hi dia panggil aku pakai nama
Etty, lucu rasanya karena sudah lama tidak dipakai nama itu.
“Iya,” ujarku.
Dan “Seerr…” rabaan tangannya
membuatku mendesah keenakan dan suasana di kamar itu sudah penuh dengan hawa
nafsu saja. Rabaan tangannya mulai mengcengkeram kedua bukit sintal, dan aku
pelan-pelan merenggangkan pahaku dan kuangkat sedikit pantatku. Banu pindah ke
dekat pahaku dan aku geli karena pasti dia ingin lihat vaginaku. Sengaja
kuangkat terus dan kulebarkan lagi pahaku dan tangannya masih meremas-remas
(bukan ngolesin lagi cing).
Kulihat ia menjilatkan lidahnya ke
bibirnya dan tangannya mendekat ke arah paha dan jempolnya kiri dan kanan
mendekat ke vaginaku sambil tetap meremas-remas pantatku sebelah bawah. Aku pun
tak sadar mendesah-desah keenakan dan terasa di sebelah dalam pahaku mengalir
cairan dari vaginaku. Aku diam saja supaya Banu tidak malu dan kuintip terus
dari kaca kelakuannya. Diulurnya jempolnya dan terasa sentuhan halus di tepi
bibir vaginaku. Enak dan aku angkat lagi pantatku dan jempolnya menyentuh lebih
berani. Aku menahan terus nafsuku, maunya sih aku sudah berbalik dan kuterkam
saja si Banu ini tapi itu akan mengurangi nikmat. Banu melihat aku diam saja
dan jempolnya tambah ke dalam pahaku dan ia kelihatan terkejut merasakan lincir
dan hangat, basah sekali bibir vaginaku. Ia melihat aku tetap terdiam, aku
menggigit bantal yang kupeluk dan terasa puting susuku gatal sekali juga.
Kutahan nafsuku dan kubiarkan dia eksplorasi dulu.
Nak Banu… aduhh…” keluhku, “Shhh…
enak sekali…”
Dan kakinya tambah dikangkangkannya
lebar-lebar, pantatnya naik sedikit sehingga vaginaku sudah terpampang di mata
Banu yang terbelalak. Tenggorokannya kering sekali dan tangannya dingin. Bulu
kemaluanku sudah menempel karena kuyup. Jari Banu meremas-remas pantat dan paha
atas. Dilihatnya vagina merekah dan bau khas seperti laut begitu merambah
hidungnya membuat suasananya tambah merangsang. Dasar anak masih “ijo” dia tak
tahu mau ngapain. Aku biarkan jarinya mendekat ke bibir vaginaku dan kutahan
nafas mengantisipasi enak yang bakal kurasakan. Kutinggikan lagi pantatku dan
terasa jarinya menyentuh dan mulai menggosok dengan rasa ingin tahu sambil
takut dimarahi. Aku berbisik, “Terus Banu… paha dalam ibu itu perlu juga,” aku
memberanikan dirinya, dan aku lebarkan lagi pahaku sehingga betul betul sudah
bebas terlihat belahan vaginaku dari belakang situ. Jari-jari Banu mulai
mendekat lebih jauh ke lubang dan bibir-bibir kiri dan kanan vaginaku dan
mengorek-ngorek. “Aduhhh… nikmat sekali…” Jari tengah Banu masuk ke lubang
basah dan keluar-masuk, ia mengorek-ngorek tanpa tahu apa yang harus
dikerjakan. Kutuntun tangannya dan kutangkupkan pada vaginaku dan jari
telunjuknya aku letakkan di atas klitorisku “Gosok dan gelitik Banu!” kataku.
Pantatku tambah tinggi sehingga aku hampir berlutut. Pantatku sudah hampir
setinggi mulut Banu yang ternganga selebar pintu Tol.
Dengan pelan tanganku meraba paha
Banu, seperti orang kena listrik ia mengejang. “Jangan takut Banu, Ibu tidak
apain kok.” Aku naikkan lagi dan penisnya yang sudah keras luar biasa terasa di
luar celana pendeknya. Aku elus-elus dan ia seperti orang kesurupan, matanya
terbalik-balik keenakan, dan kutarik celananya ke bawah, ia berdiri dan bebas
merdeka batangnya itu. Kugenggam erat-erat dan aku bilang, “Banu kamu ke
belakang situ dan tempelkan penismu ini ke mulut lubang vagina.” Aku menungging
berlutut, pantatku tinggi ke atas dan posisi vaginaku sudah terbuka lebar. Banu
mendekat dan sambil memegang penisnya ia mengarahkan ke vaginaku.
“Ahhh.. ahhh… enak Banu…”
“Iya Mbak enak sekali…”
Aku pegang penisnya dan pelan-pelan
kuamblaskan ke dalam lubang vaginaku. Gila panas sekali batangnya itu. Dan aku
mulai berayun-ayun ke depan dan ke belakang. Banu pegangan pada pinggulku, buah
dadaku berayun-ayun menggelantung bebas. Dan pelan sekali kusedot penis Banu
dalam vaginaku, kugerakkan otot dinding vaginaku bergelombang-gelombang. Di
kaca aku melihat posisiku dan Banu, sungguh pemandangan luar biasa. Anak masih
“ijo” itu antusias sekali dan kelihatan ia masih bingung-bingung. Terus
kugenjot dan Banu mulai pintar mengikuti gerakannya, dan terasa batangya
maju-mundur menggaruk-garuk dinding vaginaku dengan nikmat sekali.
Dan 2 menit kemudian meledak-ledak
orgasmeku dan ia kujepit dengan kencang dalam vaginaku sampai terasa seperti
kuperas batangnya sampai kering dari spermanya. Terdampar Banu di atas
punggungku dan aku rebah ke ranjang. Penisnya masih setengah tegang dan terasa
berdenyut denyut. Itu pengalaman Banu pertama.
Aku tertidur setelah itu dengan enak
sekali, sungguh segar. Besoknya aku sibuk di kebun sampai sore, dan siangnya
aku tidur lagi sebentar, rencanaku anak kostku yang lain akan kupetik
perjakanya. Jam 06.00 sore aku mandi dan dandan sedikit, aku kenakan daster
tipis. Setelah itu aku duduk di kamar tamu membaca koran sore menunggui
anak-anak kost pulang kuliah sore.
Ketukan di pintu menyadarkan aku dan
aku bilang, “Iya…” Andi masuk dan ia senyum-senyum.
“Ada apa Andi? nggak jadi nginap di
rumah Anwar ya?” kataku manis.
Aku tak bangkit dari ranjang, dasterku
agak tersingkap kubiarkan. Mata Andi segera melihat itu dan senyum lagi.
“Anu Mbak Etty. Perlu apa-apa
tidak?” katanya sambil mendekat.
“Oh ini Mbak Etty…” katanya sambil
duduk di sampingku dan tangannya memegang tanganku.
“Tapi tidak boleh marah ya… Herman,
Toni kan masih SMA, mereka baru dapat pelajaran biologi dan sering nanya-nanya,
aku tapi sulit juga menjelaskan kalau tidak ada peragaan.”
“Lha iya, kamu kan di kedokteran
bisa dong ngejelasin,” kataku.
Elusan tangannya membuat hatiku
berdesir lagi dan vaginaku langsung mendenyut. (Gila nafsuku besar sekali sih
batinku).
“Lalu kenapa?”
“Ini lho, tapi bener ya tidak boleh
marah?” kata Andi lagi.
“Iya sudah, apa sih susah banget mau
ngomong. Kamu perlu uang buat beli peta biologi?”
“Eh tidak, sebenernya sudah ada tapi
perlu bantuan Mbak Etty,” kata Andi lagi.
“Gini Mbak, mereka ingin tahu tubuh
wanita dan aku pikir paling gampang kalau Mbak Etty tidak keberatan aku pakai
tubuh Mbak buat peragaannya.”
“Ha.. ha.. ha… Andi kamu ada-ada
saja, malu ah,” kataku sambil berdebar-debar dengan pengalaman baru ini.
“Boleh tidak Mbak?” desak Andi lagi.
“Iya dah, tapi gimana? aku mesti
apa?”
Baru aku bilang begitu pintu kamar
sudah terbuka dan masuk Herman dan Toni. Kurang ajar dari tadi mereka nguping
di pintu. Aku agak menjerit karena kaget. Herman dan Toni malu-malu dan mukanya
merah. Andi mengajak mereka ke tempat tidurku dan katanya, “Mbak saya lepas ya
dasternya.” Aku malu, karena aneh rasanya ada 3 lelaki muda di kamarku. Tapi
gemuruh di dadaku menggebu-gebu membayangkan tubuh ke-3 anak muda ini. Aku
hanya bisa manggut-manggut, lidahku kelu dan duh vaginaku sudah langsung
melembab dan lembek terasa hangat bibir vaginaku. Aku duduk dan kuangkat
dasterku dan waktu tanganku ke atas buah dadaku langsung bebas menggelinjang
sintal dan kulihat mata ke-3 anak itu membelalak. Aku menutup buah dadaku
dengan daster yang sudah lepas dan Andi mendekat lagi. “Mbak baring ya,
tangannya ke atas. Ini kita serius kok Mbak, mereka besok ujian. Jadi Mbak
tidak usah malu karena membantu nih.” Tanganku ditariknya kedua-duanya ke atas
dan buah dadaku munjung dengan bebas dan seksi sekali. Kulirik dan duh mereka
sudah pada tegang. Aku berbaring hanya bercelana dalam segitiga kecil sekali
hampir tak bisa menutup vaginaku dan di depannya jelas sekali basah sudah.
Andi juga suaranya bergetar karena
menahan nafsu, aku rasa. “Ton, Man sini kamu di sisi sana biar aku jelaskan
tentang buah dada,” katanya sok seperti dosen. Herman dan Toni berdesak-desak
dengan gesit mendekat. Andi memegang buah dadaku dan menjelaskan bahwa ini
adalah buah dada yang sehat dan terpelihara baik katanya sambil meremas, dan
katanya, “Nah kamu coba pegang dan remas-remas! Herman kamu perah yang sini dan
Toni kamu coba kekenyalan yang satunya, kemudian gantian dan bandingkan.” Mata
mereka jalang sekali dan kedengaran desah nafas mereka yang sudah tak
beraturan. Aku sendiri begitu diremas Andi tak sadar mendesah enak. Dan
seketika kedua anak itu rebutan meremas-remas kedua buah dadaku, dan banjirlah
cairan di vaginaku.
“OK.. OK.. sudah sudah cukup!” seru
Andi, “Sekarang lihat ini, ini adalah puting susu dan di sekitarnya ini disebut
aerola,” katanya sambil memelintir putingku ke kiri dan kanan, aku
menggelinjang geli. “Ini kalau sehat akan bereaksi bila disentuh atau dirangsang
sehingga mengeras,” lanjutnya. “Nah coba kamu pegang puting seorang satu ya…
dan pelintir seperti ini!” katanya sambil mencontohkan dijepitnya puting susuku
di antara jempol dan jari telunjuknya dan diputarnya putingku. Aduh seketika
aliran syarafku ke vagina tambah enak rasanya. Vaginaku terasa kuyup dan
mengalir ke sisi pahaku. Celana dalamku tak dapat menampung lagi cairan itu.
Herman memelintir puting susu kiri dan Toni di buah dada kananku. Aku tak sadar
kakiku sudah mengempit dan bergoyang-goyang menahan rasa geli dan pinggulku
bergeser-geser di ranjang. Andi sendiri memperhatikan kedua anak itu praktikum
di puting susuku dan keduanya asyik sekali. Diremasnya vaginaku dari luar
celana dalam sehingga aku sudah kehilangan sadar dan rasa malu. Gelinjang-gelinjangku
sudah seperti kuda liar.
“Andi… Andi… ooohh… Gila kalian ayo
dongg…” Pelintir-pelintiran tangan Tony dan Herman masih terus dan mereka
seperti anak kecil dapat mainan. “OK OK, stop dulu!” muka keduanya kecewa dan
mereka menurut sekali. “Sekarang kita beralih ke bagian sini,” katanya sambil
meremas vaginaku. Aku senang sekali serasa akan mendapat pelepasan. Mereka
semua jelas-jelas sudah ereksi penisnya tapi masih menahan diri. Sebenarnya aku
yang sudah tidak tahan ingin sekali vaginaku dimasuki batang panas dan aku
gembira sekali membayangkan ada 3 penis panas. “Ini namanya vagina,” kata Andi
sambil meremas-remas terus dari luar CD-ku yang sudah kuyup. “Mas Andi, kenapa
kok basah gitu sih?” tanya Toni dengan polos sambil agak bergetar dan parau
suaranya. “Oh ini,” kata Andi sambil memegang depan CD-ku. “Ini biasa kalau
wanita sedang birahi maka akan keluar cairan-cairan seminal seperti ini. Dan
maaf Mbak Etty, saya turunkan ya celananya!” Lagi aku tak bisa menjawab kelu
lidahku dan aku hanya manggut cepat dan kuangkat pantat dan pinggulku. Andi
menyelipkan tangannya ke samping CD-ku dan menariknya turun, seketika
terbukalah vaginaku dan Herman maupun Toni tambah besar saja belalak mata
mereka.
Andi mengelus-elus vaginaku dan
mengatakan, “Ayo kalian pindah ke sini dekat paha Mbak Etty biar jelas,”
katanya. Nafas Andi pun mendengus-dengus, aku rasa kalau dibiarkan ia sudah mau
menancapkan penisnya ke dalam lubangku. Andi menjepitkan jarinya pada bibir
vaginaku yang tebal, empuk panas dan menyibak bibir vaginaku dan menariknya
keluar, “Nah ini namanya labia, bibir vagina,” kata Andi. “Coba kalian rasakan,
dielus-elus seperti ini!” katanya lagi. “Ahhh… nikmat sekali…” Herman dan Tony
dengan gemetar memegang seorang sebelah dan menariknya. Kemudian mengelus-elus
dengan ujung jari-jari mereka. Gila geli sekali, dan aku senang karena mereka
serius dan semangat sekali (iya lah mana tidak semangat melihat vagina begitu
cantik). Ada dua menit mereka menarik-narik pelan dan mengintip-intip dari
dekat, dengus nafas mereka geli sekali kena pahaku di atas. Dan Andi
menghentikan mereka. “OK, berikutnya perhatikan bentuknya ini,” katanya sambil
menyibak rambut kemaluanku yang sudah kuyup oleh cairan vaginaku. Aduh, itu
cairan mengalir kemana-mana terasa sampai ke lubang duburku. “Ini adalah
klentit atau klitoris,” katanya sambil menarik kacangku yang sudah keras
sekali. Di dorongnya keluar di antara kedua jarinya dan lihat…!” katanya lagi.
“Ini kalau disenggol akan mengeras seperti ini.” Dan dimain-mainkannya dengan
ujung jarinya klitorisku itu.
Mataku gelap rasanya seperti mau
pingsan karena enak sekali. “OK, kamu coba Man,” katanya ke Herman, dan Herman
dengan semangat menggoyang klitorisku dan ia juga bereksperimen menjepit
klitorisku dengan kedua jari dan memilin-milin. Pantatku
menggelinjang-gelinjang liar dan Tony aku lihat sepintas ternganga melihat
kelakuanku. Andi sementara itu tak tinggal diam, ia memeperhatikan kedua anak
itu sambil meremas-remas memerah buah dadaku. Aku lemas dengan nafsu yang sudah
memuncak sekali. Pahaku sudah ngangkang lebar sekali dan bau mesum dari
vaginaku memenuhi kamar. Badanku terasa hangat sekali dan betapa lubang
vaginaku mengharapkan batang panas, tapi aku masih mengikuti semua permainan
anak-anak ini. “OK, sudah!” katanya setelah Toni juga mendapat giliran.
“Sekarang seperti ini kalian harus tahu bahwa lubang vagina ini sangat sensitif
jadi tidak boleh kasar kalau mau memeriksa.” Andi memasukkan jari tengahnya
yang kasap ke dalam lubang vaginaku dan begitu masuk dinding vaginaku langsung
mendenyut mencengkeram, “Senut… senuttt…”
“Usahakan kuku kalian harus sudah
digunting dan tidak tajam, karena kalau sampai luka sulit nanti sembuhnya,”
katanya sok tahu seperti dosen sungguhan. “OK, kalian coba masukkan dan gosok
gosok seperti ini keluar-masuk,” katanya. Aku terbadai saja di ranjang dan
kedua anak ini bergantian memasukkan jari tengahnya memasturbasi aku, entah
berapa kali sudah aku orgasme. Seprei ranjang sudah kusut seperti kapal pecah.
Andi terus meremas-remas buah dadaku sambil memainkan puting susuku. “Nah
sekarang kita harus mengerti juga bau vagina yang sehat seperti ini,” kata
Andi. Ia mendekatkan hidungnya ke lubang vaginaku dan hembusan nafasnya yang
panas menambah bara nafsuku. Kalau aku tidak menahan diri sudah kuterkam si
Andi ini dan kutunggangi penisnya. Aku masih play along dengan mereka. Kemudian
Andi berbicara lagi. “Dan kita juga perlu menjilati untuk tahu rasanya cairan
ini,” katanya sambil bibirnya langsung menerkam vaginaku. “Ahhhh…” jeritku
keenakan. Dan lidah kasapnya segera bermain di sekitar situ, kira-kira semenit
ia dengan berat hati melepaskan dan…”OK, sekarang Toni kamu coba!” Toni dengan
cekatan mendekat dan memasukkan mukanya di antara selangkanganku yang sudah
kubuka lebar-lebar.
Aku ambil bantal dan kuganjal
pantatku sehingga vaginaku munjung keluar. Mulut Toni terasa panas sekali dan
dengan semangat ia menciumi dan seruput-seruput ia menjilati. Aku terbadai lagi
dan orgasmeku memuncak untuk kesekian kalinya. Lidah Toni berkali-kali masuk ke
lubang vaginaku dan cairan demi cairan dihisapnya. Kadang kadang ia menghisap
dengan kencang dan pahaku sudah tak sadar mengempit kepala Toni. “Sudah Ton!”
kata Herman menarik Toni dan membuka paksa pahaku, dia juga tidak sabaran
jadinya. “Dan gantian Herman!” Aduh, gila digigitnya bibir kemaluanku, rupanya
saking semangat tergigit sedikit bibir vaginaku, tapi ia juga semangat dan
terasa lidahnya lebih panjang dan kasar lagi dari lidah Toni dan Andi. Aku
menggeruskan vaginaku ke mulutnya dan pahaku mengempit kepala Herman di antara
kedua pahaku yang sintal putih. Sementara Andi sudah membuka celananya dan
penisnya sudah keras sekali, disorongkannya ke mulutku dan dengan rakus aku
menerkam dan mengelomohi kepala penisnya. Toni juga tadi melihat Andi, ia
meremas-remas buah dadaku dengan semangat. Kadangkadang aku agak menjerit
karena sakit juga, mungkin gemes si Toni ini.
Herman masih asyik menyeruput
vaginaku dan klitorisku, dia cari dan disedot. Toni tadi tidak sampai
mengisap-isap klitorisku. Tak lama Andi meletup orgasmenya dan dengan rakus aku
hisap kencang sambil meremas-remas batangnya dan mengocok-ngocok supaya
spermanya keluar semua. Kutelan habis semua sperma itu. Toni ternganga lagi
melihatku ganas seperti itu dan binal sekali. “Man, Man sudah Man!” kata Andi.
Herman dengan segan mengangkat kepalanya dari vaginaku. Andi mengatakan, “Mbak
Etty, kami perlu membuat eksperimen lanjutan, boleh tidak?” Aku sudah tidak
bisa berpikir karena ingin sekali penis-penis ini kuremas dalam vaginaku.
Andi mengeluarkan pisau cukur
Gillette dan katanya, “Man kamu ambil itu sabun untuk cukur kita cukur jembut
Mbak Etty!” Toni masih terus meremas-remas buah dadaku dan kadang mempermainkan
puting susuku, dan dihisap-isapnya juga. Tanganku memegang batang penisnya dari
luar celana. Kemudian aku bilang, “Kalian tidak fair masak aku sendiri yang
telanjang bulat kalian semua buka juga dong!” Aku rasa aku mesti lapor ke Jaya
Suprana di MURI karena kalau ada rekor buka baju pasti mereka menang. Dalam
sekejab sudah telanjang semua. Herman dan Toni bulu kemaluannya masih
halus-halus, mereka baru SMU kelas I, kalau tidak salah ingatanku. Herman
mengoleskan sabun di bulu-bulu kemaluanku sambil jarinya iseng mencubiti
klitorisku. Dan Andi mulai mencukur dari mulai perut bawahku dengan hati-hati
sekali, dan terasa bulu kemaluanku berjatuhan dan dingin di tempat yang sudah
bersih. Terus Andi maju dan sekitar bibir tepi-tepi vaginaku juga. Ditariknya
lembar bibir vaginaku dan dicukurnya pelan-pelan. Dan dalam beberapa menit
gundul sudah vaginaku. Andi mengambil kaca kecil dan menyuruhku duduk. Aku
mengangkang sambil duduk dan Andi meletakkan kaca itu di depan vaginaku, ha ha
ha lucu sekali dan klitrosisku tampak jelas nongol, bibir vaginaku merekah dan
kelihatan seperti kerang mentah.
“OK, sekarang giliranku,” kataku,
“Kalian bertiga tiduran, kita lihat siapa yang paling kuat, Mbak akan tunggangi
kalian satu persatu dan yang paling kuat lama malam ini boleh tidur sama Mbak
sampai pagi hadiahnya,” kataku sambil senyum dengan buas dan binalnya. Ketiganya
cepat berbaring dan aku bilang, “Ambil bantal semua, taruh bantal di bawah
pantatnya!” Aku merasa liar sekali melihat ketiga tiang bendera dari daging itu
sudah berdiri tegak lurus. Hmm, aku mulai dari Toni, dia berbaring di tengah
dan aku jongkok di atas penisnya, kugenggam batang itu dan kugosok-gosok
kepalanya di mulut vaginaku. Pelan-pelan aku jongkok lebih dalam dan kepala
penisnya mulai masuk. Toni merem menikmati dan mulutnya terbuka dan
mendesah-desah keenakan. “Bless…” masuk semua dan aku turun terus sampai
terbenam dan aku mulai bergoyang berputar tanpa naik-turun dengan cepat,
genggaman vaginaku kukerahkan dengan kuat, terus kuputar searah jarum jam. Buah
dadaku yang montok bergoyang, satu di kiri diremas Andi dan yang kanan diremas
Herman, mereka juga ikut terengah-engah. Aku mulai mengulek penis Toni ke depan
dan ke belakang, berayun-ayun, pinggulku berputar-putar, dan terasa hangat dan
kerasnya penisnya di dalam vaginaku dan mata Toni terbelalak ke atas sehingga
kelihatan putihnya saja, dan badannya melengkung kejang.
Dalam 2 menit sudah orgasme dia dan
semprotan maninya di dalam vaginaku panas sekali. Dan aku sendiri karena buah
dadaku diremas-remas kedua anak ini di kiri dan di kanan juga tak lama ikut
meledak. Suasana yang cabul ini menggelorakan birahi, dan aku mengejangkan
badanku menikmati orgasme entah keberapa. Kempitan vaginaku membuat Toni agak
kesakitan karena kuatnya otot dinding vaginaku. Terasa klitorisku menyentuh
rapat ke penis Toni, dengan terengah-engah aku berlutut dan kucabut vaginaku
dari penis Toni yang kuyup dengan sperma dan cairan kewanitaanku. Aku merangkak
pindah menungging di atas penis Herman, buah dadaku bergantung bebas, aku ingin
mengisap penis Herman dan menelan sumber awet muda, tadinya aku juga maunya
Toni aku sedot dulu spermanya yang penuh protein itu, hanya vaginaku gatal
sekali tadi. Dan setelah digaruk oleh kepala penis itu, enak sekali, agak
mending walau aku masih penuh birahi. Terasa Andi menggosok vaginaku dengan
tissue untuk melap mani Toni yang berleleran dan aku sudah tak perduli. Kuraih
batang penis Herman yang kulihat agak gemetar menahan gejolak senangnya, ia
membayangkan penisnya bakal aku sedot. Kuciumi dulu sepanjang batang penis dari
satu sisi ke sisi lain. kemudian kulekatkan lidahku di bagian bawah kepala
penisnya yang sudah berkilat-kilat basah dan kuputar sekitar penis itu dengan
lincah dan seketika menggelinjang Herman keenakan.
“Aduh Mbak Ettyyy…” dan tangannya
seketika mencengkeram rambutku dan mendorong agar penisnya masuk ke mulutku. Aku
sengaja hanya menyentuh dengan ujung lidahku di atas kepala penisnya, dan
tanganku mengelus-ngelus buah zakarnya yang sudah padat itu. Kuremas-remas buah
pelir itu dan ciuman-ciuman ke batang penis sekitar pelir membuat ia tambah
liar dan sudah seperti kuda liar. Menggeram minta agar aku menyedot. Ah anak
muda perjaka. Aku masukkan kepala penisnya saja ke dalam mulutku dan kukelomoh
seperti makan es krim Walls saja laiknya atau Lolipop. Pembaca wanita yang
belum pernah nyoba anda kehilangan cara-cara yang menakjubkan ini untuk memberi
nikmat pada pasangan anda (pasangan di rumah maupun di luar). Dan tanganku
tetap menggocok pelir dan batang Herman sementara itu dari belakang Toni
memelukku dan memerah-merah buah dadaku dan eh gila si Andi masuk ke selangkanganku
yang sudah di lapnya dan ia menarik pantatku sehingga aku terduduk dengan
vagina di atas mulut Andi. “Uihhh geli sekalii…” dan Andi karena sudah lebih
pengalaman (siapa dong gurunya) memberiku kenikmatan selangit. “Aahhh…”
Gila deh aku dan tiga anak muda-muda
dan telanjang bulat semua. Sayang tidak ada kamera video waktu itu. Kuhisap
kencang sampai pipiku kempot dan lidahku menyambar-nyambar kepala penis di
dalam dan akhirnya Herman mengangkat tinggi-tinggi pantatnya dan aku hampir
tersedak penisnya masuk ke dalam rongga mulutku yang dalam, dan… “Srot… srott…”
Bertubi-tubi spermanya muncrat dan kusedot dan kutelan habis. Mbak-Mbak, ini
dia obat awet muda, rahasia lho. Dan Andi menyedot terus klitorisku sehingga
aku pun orgasme dan saking naik ke otak, mataku gelap dan aku duduk menekan
vaginaku di mulut Andi sambil berputar di situ. Aku tumbang ke samping dan Andi
bangun, mulutnya berbuih putih di sekitar bibirnya sehingga aku tertawa
melihatnya sambil terengah-engah. Dan Toni sudah ereksi lagi, Andi juga dan
Herman masih mencari nafas, penisnya separuh tegang. Kuambil air di gelas dan
sambil menenangkan nafas aku minum, eh lagi duduk gitu susuku sudah
diremas-remas lagi dan idih ini anak-anak, entah tangan siapa masuk
mengorek-ngorek vaginaku dan aku dipeluk dari belakang, siapapun aku sudah
tidak perduli.
Aku menikmati mereka malam ini.
Ujian biologi? Hmm aku tahu mereka hanya buat alasan saja. Telingaku dicium dan
dijilat entah oleh siapa, perutku juga diciumi salah satu anak, dan aku
langsung spanning”Ayo Ton, maju-mundur, Mbak kepit dengan tetek nih penismu,
enak tidak.”
“Eeenakk… Mbakkkk…” gumamnya
bingung.
Dia dengan canggung maju-mundur,
keringat di buah dadaku menjadi pelincinnya.
“Man kamu berlutut di atas mulut
Mbak dan sinikan penismu ke dalam mulut Mbak lagi,” kataku.
Lalu akhirnya Andi menyemprotkan
spermanya ke dalam vaginanya, dan disusul Herman sambil mengerang kuhisap teras
penisnya dan muncratlah spermanya memenuhi mulutku. Toni masih terus
menggesek-gesek penisnya dikepit buah dadaku, lalu dia menyemprotkan spermanya
sampai mengenai dagu dan muka.
Mereka lalu lemas berbaring di
samping kanan dan kiriku, mereka benar-benar puas, dan ilmu mereka jadi
bertambah, ilmu yang mana? Ah aku tidak perduli, pokoknya aku puas dan dapat
pengalaman uang bermacam-macam. Sampai sekarang aku masih membutuhkan seks
terutama yang muda-muda, agar awet muda, dan aku benar bahagia menikmati
semuanya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar